Home » » Demokrasi Mekanis, Distorsi Sebuah Substantif

Demokrasi Mekanis, Distorsi Sebuah Substantif

Written By Anonymous on Friday 15 March 2013 | 17:18

"Government is of the people, by the people, for the people, shall not perish from the earth" (Abraham Lincoln) [1].

Perhelatan politik Indonesia kini bergerak sejalan dengan umur reformasi yang semakin bertambah, seolah semakin matang, pertumbuhan politik Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi maupun budaya. Garis singgung yang dihasilkan pun menjadi asimetris, namun ini adalah produk dari sebuah proses politik yang menggabungkan bentuk-bentuk parsial demokrasi.

Berpijak pada demokrasi yang merupakan manifestasi dari kekuasaan rakyat, demokrasi yang dulu dihasilkan dari proses pencarian dan perumusan ide awal Negara oleh the founding fathers dirasa belum cukup untuk memenuhi entitas dari keadilan dan keseimbangan bernegara. Berbagai pelanggaran-pelanggaran demokrasi yang cenderung represif memberi ketidakpuasan dan menuntut lebih akan konsentrat demokrasi yang harus dilepaskan dari jubah-jubah distorsi esensi. Demokrasi terpimpin yang membentuk kekuasaan menumpuk pada satu tangan dan rezim Orba yang membangun sentralistik kekuasaan masih dirasa belum mencapai kulminasi sebuah demokrasi.

Berbagai kritikan pun bermunculan bahkan dari lisan seorang mantan Presiden BJ Habibie yang menyatakan bahwa struktur ketatanegaraan Indonesia masih executive-heavy. Sejalan dengan itu, kelemahan demokrasi di Indonesia adalah absennya proses check and balance ujar Mahfud MD. Dalam konteks historis tersebut memang menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia masih menuntut lebih dari sekedar demokrasi empirisme yang sporadis.

Hal-hal itulah yang menjadi raison d'etre untuk perubahan sistem serta amandemen UUD 1945 yang mengedepankan cita-cita demokrasi dalam penegakkan dan keadilan HAM dengan wujud konkrit sistem kekuasaan check and balance agar tidak terjadi penumpukkan wewenang.

Demokrasi Mekanis . . .

"Democracy is not simply a mechanism, but rather a system that requires certain conditions" (Amartya Sen) [2].

Gugatan dan pertanyaan responsif mulai menghinggapi demokrasi kini, sebagian memandang demokrasi kini hanya sekedar prosedur, tak lebih dari sekedar tata cara. Demokrasi hanya dipandang sebagai mekanisme untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan. Setelah proses pencapaian kekuasaan itu selesai, maka demokrasi tak lagi terasa, seolah kehilangan urgensi dan miskin substansi. Hal-hal inilah yang akhirnya menciptakan dekorasi perdebatan intelektual akan quo vadis demokrasi.

Memang berbagai kekurangan-kekurangan demokrasi pra-reformasi terus mengalami penambalan dengan perbaikan sistem dan amandemen UUD 1945, namun hal itu tak luput bahwa perbaikan yang sudah dilakukan masih menuntut dan terus menuntut lebih dari sekedar perbaikan.

Pertama, "Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR" itulah bunyi pasal 5 ayat 1 UUD 1945, pasal 20 ayat 2 UUD 1945 pun berbunyi "Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama". Mengartikan secara legal Presiden sebagai kekuasaan eksekutif juga mempunyai sedikit kekuasaan legislatif dan ini termaktub dalam UUD 1945.

Tak hanya itu, pasal 14 UUD 1945 juga menyatakan Presiden bisa memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi, berarti secara legal Presiden sebagai kekuasaan eksekutif juga masih memiliki sedikit kekuasaan yudikatif.

Konsep Trias Politika Montesquieu dalam bukunya L'Esprit des Lois adalah pemisahan kekuasaan (separation of power), namun konsep kekuasaan yang secara gamblang termaktub dalam konstitusi Indonesia adalah pembagian kekuasaan (division of power). Dengan begitu konsep kekuasaan di Indonesia bukanlah dipisah, melainkan dibagi. Berarti masih adanya akumulasi kekuasaan.

Kekurangan-kekurangan seperti inilah yang menjadi benih-benih penumpukan wewenang yang nantinya bisa kembali menjadi executive-heavy seperti yang dikatakan mantan Presiden BJ Habibie. Memang perbedaan-perbedaan prinsipil seperti ini lebih baik dimaklumi saat sudah masuk ke dalam konstitusi, namun tak menafikan bahwa kesempatan rakyat untuk menagih indahnya esensi kalimat dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi tereduksi.

Kedua, demokrasi jauh lebih banyak dirasa ada ketika dalam proses pencapaian kekuasaan melalui pemilu, ketika pemilu sangat kental terasa nuansa demokrasi, namun setelah proses pencapaian kekuasaan itu selesai, demokrasi seolah tereduksi.

Lihat saja, meskipun kini sudah ada UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) namun rakyat masih saja kesulitan dalam mengakses informasi pembahasan suatu RUU, sehingga pada saat disahkan menimbulkan gejolak. [3].

Ketika kekuasaan eksekutif diberi kesempatan memiliki sedikit kekuasaan legislatif, maka orientasi haluan pengajuan RUU lebih banyak berasal dari eksekutif dibandingkan legislatif. Padahal suara rakyat yang sebenarnya lebih banyak masuk ke dalam pos-pos kepemimpinan di legislatif ketimbang eksekutif. Alhasil kesempatan rakyat pun berkurang.

Disorientasi demokrasi telah mendistorsi suatu substansi dari sebuah demokrasi yang akhirnya nilai-nilai tersebut tereduksi secara long-lasting. Pereduksian itu pun menisbikan keadilan dan tujuan bernegara. Padahal jika melihat pasal demi pasal konstitusi Indonesia, dengan diaturnya semua kehidupan politik, ekonomi, budaya, sistem bernegara, wilayah negara, HAM, agama, kesejahteraan, pendidikan, dan yang terpenting kedaulatan dalam bernegara menunjukkan bahwa demokrasi bukanlah sekedar mekanisme dalam proses mendapatkan kekuasaan saja, melainkan sebuah sistem yang mengatur kehidupan bernegara. Namun jika substansi itu terdistorsi, maka yang tampil hanyalah mekanisme dalam pencapaian kekuasaan saja.

Muhammad Ali Husein

Mahasiswa Hubungan Internasional 2011

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Jenderal Soedirman

Staf Kementerian Aksi dan Propaganda BEM Unsoed Kabinet Pelopor Berkarya

[1] Presiden Amerika Serikat ke-16

[2] Ekonom India, Peraih Penghargaan Nobel di bidang ekonomi tahun 1998

[3] M. Gaffar, Janedjri, "Demokrasi Konstitusional" hlm. 52.

Panji Wijaya 16 Mar, 2013


-
Source: http://politik.kompasiana.com/2013/03/16/demokrasi-mekanis-distorsi-sebuah-substantif-543201.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com
Share this article :
Related Articles


0 comments:

Post a Comment

 
Support : blogger.com | google.com | youtube.com
Copyright © 2013. Blogger Dalam Berita - All Rights Reserved
Template Created by google Published by google
Proudly powered by Blogger